Sekejam Apakah Orang Aceh dalam Berperang?


Penulis : Iskandar Norman.

Kesaksian Letnan Schoemaker Tentang Perang Aceh_
Seorang perwira Belanda Letnan Schoemaker yang menyaksikan langsung beragam peristiwa memilukan itu, menulisnya dalam buku Tjerita-Tjerita dari Atjeh. Buku ini diterbitkan oleh G Kolff & Co di Batavia pada tahun 1891.
Dalam buku itu Schoemaker bercerita, pada tanggal 29 Juni 1882. Pagi-pagi dari benteng Teungkop keluar satu datasemen, dengan kekuatan dua opsir dan 70 serdadu. Serdadu-serdadu bersenjata itu harus menjaga 200 orang kuli Cina yang bekerja membuka jalan dari Teungkop hingga ke Seuneulhop.
Sejak jalan itu mulai dikerjakan, setiap hari ada saja penyerangan terhadap pekerja dan serdadu Belanda. Kerana itu satu datasemen pasukan Belanda melakukan patrol di sana. Pembukaan jalan oleh kuli Cina itu sudah sampai ke Cot Rang, selanjutnya akan diteruskan sampai ke pasar kampung itu hingga ke kampung Bong Djala, tempat sering berkumpulnya pejuang Aceh dari kelompok Teuku Nyak Hasan.
Letnan Everst dan pasukannya ditugaskan untuk melakukan pengamanan berlapis dengan tiga kelompok pasukan. Di muka jalan ada pasukan Voorhoede yang dipimpin oleh Letnan Dua Luske. Sementara pasukan Hoofdkolonne dipimpin sendiri oleh Letnan Everst, di belakang pasukan itu kuli bekerja dan diawasi secara ketat oleh para mandor, di kiri kanan serdadu-serdadu Belanda itu patroli hilir mudik.
Sampai setengah jam pekerjaan belum terjadi apa-apa. Tapi tiba-tiba patroli sebelah kiri ditembaki oleh pejuang Aceh dari pinggir kampung Langoed. Letnan Luske memerintah pasukannya untuk sembunyi, voorspits di kiri kanan diminta untuk rapat lagi. Pasukan Belanda jadi panik.
Satu tembakan dari pejuang Aceh mengenai lengan kiri Letnan Luske, kemudian tembakan lainnya mengenai lengan kanannya. Ia tetap berdiri, dan terus memberi aba-aba kepada pasukannya, namun tembakan ketiga mengenai pahanya, ia jatuh.
Pasukan Aceh terus maju, melihat itu, serdadu Kompeni Belanda dari barisan Hoofdtroep datang membantu Letnan Luske. Begitu juga dengan Letnan Everst yang bertindak sebagai komandan, melihat Letnan Luske rebah ditembak pejuang Aceh, ia berlari untuk menyelamatkannya dan membawa ke belakang pasukan.
Pejuang-pejuang Aceh terus maju dan semakin banyak jumlahnya, melihat itu para serdadu Kompeni Belanda ketakutan, para opsir (perwira) mencoba meyakinkan mereka untuk bertahan dan membalas tembakan, tapi karena para kuli Cina yang terus berteriak minta tolong dan lari kocar-kacir, serdadu-serdadu itu juga ikut melarikan diri.
Kepanikan terus melanda pasukan Belanda, Letnan Luske yang terkena tiga tembakan semakin lemah, ia banyak kehilangan darah, tapi terus mencoba berjalan di belakang pasukan untuk menyelamatkan diri. Tapi ia tertinggal di belakang, semua pasukannya sudah lari.
Letnan Luske ditangkap pejuang Aceh, kepalanya dihamtam dua kali dengan kelewang. Tapi karena dia memakai helm kepalanya tidak luka. Ia jatuh di sebelah kiri jalan, menyandarkan badannya di pagar berduri. Ia tidak dipedulikan lagi, pejuang Aceh terus mengejar para serdadu kompeni dan kuli Cina yang lari dari kancah perang itu.
Petaka benar-benar melanda Letnan Luske, badannya dibacok berkali-kali dengan kelewang. Ia mencoba meraih pistol, tapi kedua tangannya yang sudah kena tembak tak mampu digerakkan lagi. Melihat usaha Letnan Luske untuk meraih pistol itu, seorang pejuang Aceh membacok tangannya.
Letnan Schoemaker melanjutkan kisahnya_
Orang Aceh tidak berhenti pukul dan bacok letnan itu. Jadi begitu, melainkan tiga luka yang kena dipasang (tembak). Dia dapat 23 luka dari kelewang. Luka-luka dari pelor itu begini terbagi di badannya: Satu luka tembak di ketiak kanan, satu di tangan kiri, satu lagi di atas paha. Luka dari kelewang; dua di kepala, empat di tangan kanan, sampai putus jari manis, dan jari kelingking, dan separoh dari tangan kanan; satu di tangan atas, luka itu panjangnya sejengkal, satu di perut, sampai keluar isi perut, enam di paha kanan dan pangkal paha; sembilan di dengkul dan betis. Begini rupa orang Aceh kasih tinggal dia.
Letnan Luske dibiarkan tergelatak begitu saja, orang Aceh sengaja tidak membunuhnya hingga mati, mereka lebih suka meninggalkan korbannya dalam keadaan sekarat, untuk memberi contoh kepada para serdadu Belanda, agar mentalnya jatuh. Selama sebelas bulan Letnan Luske dirawat di Benteng Teungkop, dan selama tiga bulan pertama ia tidak sadarkan diri. Tubuhnya yang dibalur perban menjadi perhatian serdadu kompeni seisi benteng itu, banyak mereka yang menangis.
Setelah sebelas bulan perawatan, Letnan Luske dikirim kembali ke Belanda untuk menjalani perawatan yang lebih baik. Setelah dua tahun dirawat di sana, ia sudah bisa berjalan kembali, meski harus memakai tongkat. Trauma dari perang Aceh tak pernah hilang dari benaknya.
Letnan Nijenhuis Juga Sama_
Hal yang tragis juga pernah menimpa perwira Belanda lainnya, Letnan Nijenhuis, ia ditangkap pejuang Aceh, hidungnya dan kupingnya dipotong, matanya ditusuk. Delapan orang pejuang Aceh berjongkok mengelilinginya, kemudian membacoknya dengan kelewang, supaya Letnan Nijenhuis tidak lekas mati, luka-luka bacokan di badannya sengaja tidak dibuat dalam. Ia ditinggalkan begitu saja di jalan.
Patroli pasukan Kompeni Belanda kemudian menemukan Letnan Nijenhuis dalam keadaan sangat sekarat. Dia di bawa ke benteng untuk diobati, tapi tiga hari kemudia ia mati. Dan itulah yang diharapkan oleh orang-orang Aceh, memperlihatkan kesadisannya pada pasukan Kompeni Belanda, hingga mereka ketakutan dan mentalnya jatuh.

Post a Comment

0 Comments