Buku “Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Berakhirnya Kerjaan Aceh Abad ke-19”



Buku “Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Berakhirnya Kerjaan Aceh Abad ke-19”, adalah sebuah maha karya Anthony Reid (1969), yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia tahun 2005. Apa yang dijelaskan dalam buku ini saya pikir adalah jawaban paling konkrit dari pertanyaan mengapa bangsa-bangsa Eropa, termasuk Belanda, yang hendak menguasai Aceh dulu, adalah karena faktor perekonominya.

Ini artinya hingga permulaan abad 19, Aceh masih menjadi rebutan bangsa-bangsa dunia untuk menjadikan Aceh sebagai wilayah kekuasaannya. Karena pengaruh perekonomian Aceh akan sangat menguntungkan bagi siapa yang mampu menaklukkannya.
Sebagaimana disebutkan Anthony Reid, ketika Belanda hendak melakukan monopoli perdagangannya di Sumatera, terutama di pantai timur Sumatera dan Aceh, semua yang berkepentingan dengan perdagangan wilayah ini mengajukan protes, terutama oleh Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat. Kemudian disusul oleh Jeman dan Italia. Mereka menentang monopoli dagang kolonial yang dilakukan Belanda di pantai tumur Sumatera dan Aceh.
Itu menunjukan bahwa konflik antar bangsa untuk menguasai perekonomian di Aceh sejak awal abad 19 sudah sangat mengglobal. Meskipun pada akhirnya, dengan berbagai kesepakatan antar bangsa itu Belanda berhasil pemenang dalam menguasai wilayah perdagangan di Simatera, Jawa, dan kepulauan nusantara. Sementara Inggris memilih kaplingnya untuk menguasai wilayah semenanjung Melayu, dan bangsa-bangsa Eropa lainnya kemudian menguasai wilayah-wilayah di Asia Tenggara dan daratan Asia.
Beriringan dengan itu, sejak akhir abad 18 peran kesultanan Aceh terhadap monopoli perdagangan, terutama di Bandar Aceh Darussalam tidak lagi dominan. Hal ini disebabkan selain makin melemahnya pertahanan Sultan, juga telah bermunculan pelabuhan-pelabuhan baru di pantai Barat dan pantai Utara Aceh, yang diperankan oleh pengusaha-pengusaha swasta dengan membuka perkebunan lada dan pinang secara besar-besaran.
Seperti di Idi, Susoh, Kuala Batu, dan Lhokseumawe. Sehingga pedagang-pedagang asing dapat berhubungan langsung dengan pelabuhan yang terdapat di pantai Barat dan Utara Aceh untuk langsung bertransaksi dan bongkar muat barang-barang perniagaan. Pihak Sultan (Kesultanan Aceh) paling hanya menerima cukai dari barang niaga yang keluar masuk melalui pelabuhan di Aceh.
Akibat keterbukaan perdagangan yang tidak lagi di bawah monopoli Sultan, muncullah perusahaan-perusahaan lokal di daerah-daerah pelabuhan di Aceh. Seperti perusahaan Leube Dappa di Susoh dan Kuala Batu pantai Barat, Tuwanku Pakeh di Pidie, Tuwanku Muda Nyak Malem di Simpang Ulim, dan Teuku Paya di Lambada Aceh Besar. Mereka adalah pengusaha-pengusaha kaya di Aceh dari hasil kegiatan dagang yang mereka lalukan sejak sebelum Belanda menguasai Aceh (Zulfan, 1998: 15).
Setelah Belanda berhasil menduduki Aceh 1873, pemerintah Kolonial Hidia Belanda mulai mengambil alih kegiatan perdagangan dan mengatur kembali tatanan perekonomian baru di Aceh, dengan menerima penanaman modal perusahaan-perusahaan asing dan perusahaan Belanda sendiri. Yaitu dengan menyusun strateginya secara sisitimatis untuk menghidupkan kembali sarana-sarana perdagangan internasional di Aceh.
Dalam hal ini, Belanda membangun kembali pelabuhan kota di Banda Aceh sebagai gerbang masuk pusat perdagangan. Untuk kelancaran transportasi darat pemerintah Belanda juga membangun jalan-jalan raya, dan membangun rel kereta api di Aceh, mulai dari Ulee Lheue hingga Besitang (perbatasan Aceh-Sumatera Timur). Dengan membuka sarana transportasi itu hingga makin memperlancar angkutan barang dan orang dalam transaksi perdagangan di Aceh.
Dengan dibangunnya infrastruktur penunjang perekonomian oleh pemerintah Kolonial Belanda, terutama di pusat ibu kota Banda Aceh dan stabilitas keamanan yang dijamin pemerintah Hindia Belanda di Aceh, telah mengundang banyak investor untuk membuka usahanya di Banda Aceh.
Seperti perusahaan NV. Deli Courant dari Medan, pada 1900 perusahaan ini membuka sebuah percetakan di Kutaraja bernama NV. Atjeh Drukkerij, dan perusahaan Nederlandsche Handel Maatschappij juga ikut membuka cabangnya di Kutaraja 1902.
Beriringan dengan itu, muncul lagi perusahaan Padang Hendel Maatscheppij yang membuka cabangnya di Kutaraja dan Sabang. Hingga kemudian perusahaan impor ekspor ini berdiri sendiri di Aceh dengan nama NV. Atjehsche Maatschappij dan memiliki cabangnya di Tapaktuan, Sigli, Sabang dan Langsa.
Selain itu menurut catatan Jongejens (Residen Aceh) sebagaimana dikutip Zulfan (1998: 16-17) hingga tahun 1932, di Banda Aceh telah berdiri dua perusahaan besar, yaitu FA. J. Boon Jzn dan NV. Borsumij, namun tidak dijelaskan pemilik dan produk dari dua perusahaan tersebut. Yang pasti, saat itu di Banda Aceh telah banyak terdapat perusahaan menengah dan kecil baik milik pedagang Cina maupun milik pribumi.
Dalam hal ini, kebijakan yang ditempuh pemerintah Hindia Belanda dalam membangun perekonomian rakyat di Aceh ketika itu, dari satu sisi memang harus diapresiasikan positif. Meskipun di sisi lain mereka tetap bangsa penjajah dan musuh bagi orang Aceh.
Bagi wilayah-wilayah Uleebalang yang telah mengakui kekuasaan Belanda saat itu, pemerintah Belanda memberikan bantuan-bantuan kepada rakyat dan Uleebalang sendiri untuk meningkatkan produksi pertanian di wilayahnya. Bahkan dalam hal ini pemerintah Belanda mendirikan sebuah Bank di Aceh Besar (Kutaraja) yang diberi nama de Groot Atjehsche Afdeeling Bank tahun 1913.
Kemudian Bank ini membuka beberapa cabangnya di Aceh. Rakyat yang menginginkan kredit untuk memperluas kebun dan sawahnya dalam meningkatkan hasil pertanian mereka dapat meminjamkan modal pada Bank ini tanpa dikenakan bunga.
Sehingga kemudian tercatat, M. Djoened Joesoef dengan perusahaannya NV. Indonesia Company Limitet (Indocolim) adalah seorang pengusaha Aceh yang berhasil di era pemerintahan Kolonial dengan modal awalnya diambil pada de Groot Atjehsche Afdeeling Bank di Langsa pada tahun 1920. Yaitu dengan mengambil kredit dari Bank Belanda tanpa bunga itu, Djouned Joesoef membuka perkebunan lada dan karet di Idi Aceh Timur.
Selain M. Djoened Joesoef, beberapa pengusaha Aceh lainnya yang sangat tersohor pada masa Kolonial Belanda di Aceh, adalah Wahi Ibrahim di Pidie dengan perusahaannya NV. Permai (Perdagangan Masyarakat Indonesia), yaitu sebuah perusahaan penyalur kopra bagi perusahaan Belanda. Dan Teuku Djohan di Banda Aceh dengan perusahaannya Meuraxa Trading Comppany dan beberapa pengusaha Aceh lainnya yang sangat terkenal di era itu.
Usaha pemerintah Hindia Belanda terhadap peningkatan produksi hasil pertanian Aceh kala ini memberikan hasil positif, terutama di Aceh Utara dan Aceh Timur. Sehingga pada tahun 1932 Aceh sudah surplus beras dari hasil pertaniannya. Dan beras Aceh saat itu telah dapat diekspor ke Sumatera Timur dan Sumatera Barat. Ini berkat kebijakan Belanda yang memberikan kredit Bank tanpa bunga yang didirikan di Aceh kala itu.
Begitu pula dalam pengembangan ekonomi di bidang perkebunan dan pertambangan. Seperti yang terungkap dalam “Seuneubok Lada, Uleebalang, dan Kumpeni: Perkembangan Sosial Ekonomi Daerah Batas Aceh Timur 1840-1942”, (Muhammad Gade Ismail, 1991). Dalam buku ini diungkapkan secara detail bagaimana cepatnya pertumbuhan ekonomi di wilayah Timur Aceh, dengan dibukanya perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan minyak mentah oleh Belanda.
Perusahaan-perusahaan perkebunan yang dibuka Belanda di Aceh Timur ini tidak hanya milik pemerintah, tapi dibuka oleh perusahaan-perusahaan milik swasta atas inzin pemerintah Hindia Belanda. Bahkan Aceh Timur ini merupakan daerah pertama di Aceh yang menjadi penanaman modal swasta sampai berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di Aceh pada 1942. Semua itu memperlihat bagaimana perkembangan sendi-sendi perekonomian Aceh dalam lintasan sejarah yang dibangun pemerintahan Kolonial Belanda di Aceh.
Kemudian di awal-awal kemerdekaan, hampir seluruh komponen bangsa saat itu mencurahkan perhatiaannya pada perjuangan, untuk kembali mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi Belanda untuk menguasai kembali Republik Indonesia yang baru merdeka.
Namun sebagian pengusaha di Aceh saat itu terus mengembangkan usaha dagangnya pada perkebunan lada dan karet, untuk membantu biaya perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dalam era ini di Aceh kembali muncul perusahaan-perusahaan perseroan yang sangat besar pengaruhnya bagi stabilitas perekonomian di daerah Aceh.
Perusahaan-perusahaan perseroan dan perkongsiang lama kembali diaktifkan oleh saudagar-saudagar Aceh. Mereka mendirikan perusahaan perseroan baru. Seperti muculnya kembali perusahaan NV. Amin Leubok, NV. Permai (Perdagangan Masyarakat Indonesia), NV. Lhok Nga Company, NV. Persig (Persatuan Saudagar Geudong) di Aceh Utara, Indocolim (Indonesia Company Limited), Indolco (Indonesia Limited Company) dan lain-lain yang bergerak di bidang perdagangan impor ekspor.
Di dibang perkebunan di awal-awal kemerdekaan, di Aceh juga muncul perusahaan Aceh Trading Company (ATC) yang sekaligus bertindak sebagai perusahaan Republik Daerah. Di sektor transportasi (pengangkutan darat) muncul perusahaan seperti Altraco (Ali Basyah Trading Company), NV. Atra (Auto Transport Aceh), FA. PMTOH (Pengangkutan Motor Transport Ondernemer Hasan), PAT (Persatuan Auto Aceh Timur, dan lain-lain. Kemudian juga angkutan laut, muncul perusahaan seperti NV. Samudra, Andalan Veem dan beberapa perusahaan kecil lainnya (M. Syarif Isa, 1980).
Semua pengusaha Aceh yang telah disebutkan itu, kemudian mereka bergabung dalam sebuah organisasi besar dalam rangka mengumpulkan dana untuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang baru diproklamirkan kemerdekaannya 1945.
Organisasi itu dinamai Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA). Yaitu sebuah organisasi paling tercatat dalam sejarah pembelian pesawat terbang pertama oleh rakyat Aceh yang disumbangkan sebagai modal awal negara Republik Indonesia yang baru merdeka.
Saudagar-saudagar Aceh-lah yang menyumbangkan pesawat pertama itu kepada republik ini, di samping sumbangan-sumbangan lainnya yang saat itu terus diberikan rakyat Aceh sebagai modal awal untuk Indonesia

Penulis : Nab Bahany As

Post a Comment

0 Comments