Sejarah Perang Aceh, Ulama Berperan Memobilisasi Massa



Penulis : Erik Muhammad

Sejarah perang Aceh yang terjadi pada abad ke 19 masehi, ternyata menyimpan seribu kisah yang berarti bagi perjuangan bangsa. Betapa tidak mengharukan, sebab banyak peran untuk melawan penjajah, tak terkecuali Ulama.
Dalam beberapa catatan kuno, ternyata ulama memiliki peran yang begitu berarti bagi jalannya perang Aceh.
Hal ini terbukti sebagaimana dalam buku Ibrahim Alfian berjudul “Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912”, yang menyebutkan bahwa ulama telah memberikan dampak positif bagi pergerakan Aceh saat itu.
Masih menurut sumber yang sama, Ibrahim Alfian menyebut jika Ulama di Aceh berperan dalam memobilisasi masa untuk ikut bergabung dalam peperangan.
baca juga: Sejarah Presiden Soekarno, Masa Kecilnya Pernah Sakit-sakitan
Sejarah Perang Aceh 1873-1912 dan Peran Ulama
Sisi lain dari peran para tokoh agama di Aceh ternyata begitu besar dalam mempertahankan wilayah mereka, khususnya pada tahun 1873-1912. Berikut adalah beberapa kiprah mereka dalam melawan penjajah.
Menyebarkan Ideologi “Perang Sabil”
Melalui para ulama berpengaruh di Aceh, perang melawan Belanda pada abad ke 19 akhirnya mendapat banyak respon dari para penduduk setempat.
Sebagaimana dalam bukunya Ibrahim Alfian berjudul “Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912”, (2016: 125), menyebut peranan Ulama dalam perang Aceh sangatlah strategis.
Ulama mampu memobilisasi massa untuk mengikuti perang dengan Belanda dengan menyebarkan ideologi “perang sabil”.
Kondisi seperti ini yang membuat masyarakat Aceh yang kental akan agama Islam menjadi terdorong untuk ikut bergabung.
Selain menyiapkan pasukan, mereka juga melatih untuk menjadi prajurit yang ahli dalam peperangan.
Menurut beberapa catatan sejarah perang Aceh, mereka juga mendidik pengikutnya untuk berlatih strategi perang.
baca juga: Sejarah Pembacaan Teks Proklamasi, Lapangan Ikada Gagal Jadi Tempat Kemerdekaan
Seruan Bersama Mengusir Kafir
Para Ulama di sana, berupaya untuk mengusir kaum kaphe (penyebutan Kafir dalam bahasa Aceh) yaitu Belanda.
Orang Aceh saat itu mempercayai Belanda merupakan sekelompok kafir yang harus dimusnahkan. Oleh karena itu, seruan bersama untuk mengusir kafir sangat didukung oleh rakyat Aceh zaman itu.
Selain dari mobilisasi ulama, biasanya rakyat Aceh memperoleh semangat mengusir kafir dari sebuah rapat bersama para panglima perang Aceh yang kebetulan dipimpin oleh para ulama.
Sekali lagi, rakyat Aceh menuduh Belanda sebagai kafir karena sifat-sifatnya yang cenderung tidak manusiawi.
Orang-orang Belanda yang ada di Aceh sering membuat onar. Bahkan beberapa catatan membuktikan jika orang Belanda sering membunuh rakyat Aceh yang terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anak kecil.
Atas dasar inilah mereka menganggap Belanda sebagai kaum kafir dan musuh bersama umat Islam.
baca juga: Sejarah Sistem Pertahanan Batavia, Ada Jembatan Kayu dengan Meriam
Memanfaatkan Pengajian untuk Memperoleh Massa
Dalam memobilisasi massa, ulama memanfaatkan tempat pengajian secara terpusat yang disebut Dayah.
Mereka menggodok pengikutnya untuk menghimpun kekuatan yang sempurna dalam menghadapi Belanda.
Sehingga, tidak hanya ilmu agama saja yang mereka ajarkan, melainkan pelajaran bagaimana cara mengangkat senjata untuk melawan penjajah.
Ternyata dari sejarah perang Aceh ini, strategi seperti ini membuat Belanda sulit menebak gerakan-gerakan ulama. Apalagi mereka tidak terlalu memperhatikan peran tokoh agama dalam hal peperangan.
Pengaruh T.g.k Chik di Tiro :
T.g.k Chik di Tiro merupakan salah satu nama besar Ulama yang berpengaruh terhadap peristiwa ini.
Selain masuk pada kategori Ulama yang menyebarkan ideologi “Perang Sabil”, Chik di Tiro juga adalah salah satu Ulama Aceh yang berani terjun langsung dan memimpin peperangan melawan Belanda.
Namun hal paling menarik dari Chik di Tiro, adalah sikap cerdas dan bijaksananya yang jarang dimiliki oleh siapa pun saat itu.
Ia mampu menginsafkan orang hanya dengan lisan dan tulisan untuk menjadi pengikut perangnya.
Sementara melalui lisan, ia dengan cerdasya menyerukan bahwa perang ini merupakan serangan yang suci dan berasal dari nafas Islam.
Sementara secara tersurat, Chik di Tiro menyampaikan negosiasi dengan Belanda, atau kerja sama yang saling menguntungkan.
Ia menyurati Belanda dengan sebuah persediaan bekerja sama dengan Belanda, dengan catatan orang Belanda yang mau ikut campur dalam pemerintahan Aceh, ia harus terlebih dahulu masuk dan memeluk agama Islam.
Keberanian T.g.k. Chik Kuta Karang :
Berbeda dengan T.g.k. Chik di Tiro yang masih memberikan kesempatan untuk bekerja sama dengan Belanda, Chik Kuta Karang justru sebaliknya.
Masih dalam sejarah perang Aceh, Ia merupakan seorang lama yang tidak pernah mengenal kompromi pada kafir.
Umpamanya hanya mengandalkan pemakaian mata pedang dalam menghadapi Belanda.
Chik Kuta Karang terkenal sebagai ulama pejuang Aceh yang gagah dan berani. Bahkan, banyak orang termotivasi oleh perannya selama menjabat sebagai pemimpin perang di Aceh.
Alhasil, para pengikut Chik Kuta Karang sangat banyak untuk melawan penjajah Belanda dari tanah Aceh.
Demikian beberapa peran ulama dalam sejarah perang Aceh yang bisa kita ambil pelajarannya. Dengan membaca sejarahnya, kita bisa belajar pengertian dari sebuah perang yang sesungguhnya. Sebab dalam konsep pasukan Islam Aceh, tidak akan menyerang terlebih dahulu, sebelum musuh itu bergerak dan terlebih dahulu melepaskan senjata.
Potret bawah kekejaman tentara Belanda yang menghabisi para pejuang perang Aceh 1873-1912. Terlihat mereka berfoto dengan mayat-mayat para pejuang Aceh yang gugur di medan perang.
Sumber foto Rijksmuseum KLTLV University Nationaal Library Leiden Belanda.

Post a Comment

0 Comments