Sumpah Jihad Ulama Aceh

Penulis ; Iskandar Norman



Setelah Sultan Aceh meninggalkan pusat kerajaan (Dalam) akibat invansi Belanda, para ulama mengadakan musyawarah besar tentang wajib jihad melawan Belanda.

Peristiwa pengucapan sumpah para ulama itu digambarkan oleh Muhammad Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad. Pengucapan sumpah diikuti oleh sekitar 500 ulama terkemuka di Aceh waktu itu. Pembacaan ikrar sumpah dipimpin oleh Teungku Imum Lueng Bata dan Teungku Lamnga. Sumpah wajib jihad itu berisi kewajiban para ulama untuk berperan aktif menggerakkan perlawanan rakyat terhadap Belanda.
Hal yang sama juga pernah ditulis oleh Teungku Ismail Yacob dalam buku Tgk Chik Di Tiro Pahlawan Besar, ia menulis tentang rapat rahasia yang diikuti oleh Teuku Panglima Polem, Teungku Chik Abdullahwahab Tanoh Abey dan sejumlah ulama serta uleebalang .
Dalam rapat itu Teungku Chik Abdulwahab Tanoh Abey menegaskan bahwa tenaga perjuangan masih belum hancur, hanya saja sudah kurang kesucian batin dan kekuatan iman. Ia menutup nasehatnya dengan ucapan.
“Sebelum kita memerangi musuh lahir, perangilah lebih dahulu musuh batin, yaitu hawa nafsu, harta rakyat yang sudah ada pada kita masing-masing yang telah diambil karena menurut hawa nafsu, serahkan kembali dengan segera, jangan rakyat selalu teraniaya, tegakkan keadilan di tengah-tengah kita terlebih dahulu, sebelum kita meminta keadilan pada orang lain. Dari itu tobatlah wahai teuku-teuku terlebih dahulu sebelum mengajak rakyat memerangi kompeni. Kalau tidak juga dikembalikan harta rakyat yang diambil dengan cara tidak sah, yakinlah rakyat akan membelakangi kita dan kita akan tersapu bersih dari Aceh ini, melebihi dari yang sudah-sudah. Kalau yang saya minta teuku-teuku penuhi, maka saya akan bersama teuku-teuku ke medan perang.”
Nasehat Teungku Chik Tanah Abey ini dikuatkan oleh Teuku Panglima Polem yang menganjurkan agar semua uleebalang kembali ke jalan Allah. Kemudian dalam satu pertemuan dengan para ulama dan pemimpin rakyat di Tiro yang dipimpin oleh Teungku Chik Muhammad Amin Dayah Cut, delegasi dari Gunong Biram mengemukakan kondisi genting di Aceh Besar setela Belanda mendarat.
Rapat di Tiro itu akhirnya diputuskan untuk membantu perang ke Aceh Besar dengan mengirim sejumlah ulama di bawah pimpinan kemenakan Teungku Chik Dayah Cut sendiri yaitu Teungku Haji Muhammad Saman yang baru kembali dari Mekkah yang kemudian dikenal sebagai Teungku Chik Di Tiro.
Anthony Reid dalam The Contes for North Sumatera menulis, Teungku Haji Mumahammad Saman Di Tiro tidak saja mendapat mandat dan restu dari pamannya Teungku Chik Dayah Cut, tapi juga sultan Aceh yang saat itu sudah berkedudukan di Keumala memberikan kekuasaan padanya untuk meminpin prang sabi melawan Belanda dengan mengangkatnya sebagai Wazir (Menteri) dalam kabinet perang.
Hal yang sama juga disinggung Ali Hasjmy dalam buku Hikayat Perang Sabil Menjiwai Perang Aceh, saat Teungku Haji Muhammad Saman Di Tiro dalam perjalan dari Tiro ke Aceh Besar, ia mengadakan pertemuan dengan para ulama dan pemimpin rakyat di Garot, Padang Tiji, Gunong Biram, Tanoh Abey, Ie Alang dan Lamsie. Dalam pertemuan-pertemuan di setiap tempat tersebut Teungku Haji Muhammad Saman Di Tiro mengobarkan semangat jihat bagi penduduk setempat.
Para ulama dan pemimpin rakyat yang dijumpainya termasuk Teungku Chik Tanoh Abey dan Teuku Panglima Polem. Mereka berjanji akan membantu usaha perang Teungku Chik Di Tiro yang kemudian membangun markasnya di Muereu, Aceh Besar. Dari sanalah Teungku Chik Di Tiro mengirim utusan-utusannya ke seluruh pelosok Aceh untuk menjumpai ulama dan pemimpin rakyat setempat dan mengajaknya untuk berjihad melawan Belanda.
Dihadiahi Hikyat Prang Sabi
Selain memimpin perang bersama rakyat, para ulama juga menciptakan hikayat-hikayat heroik untuk membakar semangat rakyat dalam melawan Belanda. Hikayat-hikayat itu menceritakan tentang perjuangan di zaman para nabi dalam menegakkan agama Islam, seperti kisah Hasan Bin Sabit, Ka’ab bin Malik dan Abdullah bin Rawahah.
Dalam buku Ikhtisar Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Ali Hasjmy menjelaskan bahwa dalam sejarah perjauangan rakyat Aceh ada beberapa hikayat dibacakan untuk membangkitkan semangat jihad rakyat Aceh: Hikayat Prang Peringgi yang diciptakan menjelang akhir abad XIV ujntuk melawan Portugis.
Hikayat Prang Kompeni yang diciptakan oleh Abdul Karim (Do Karim) menjelang akhir abad XIX, Hikayat Prang Sabi yang ditulis menjelang akhir abad XIX oleh Teungku Chik Muhammad Pante Kulu.
Teungku Chik Di Tiro yang saat itu sibuk menyiapkan bala tentara rakyat untuk melawan Belanda. Ia didatangi oleh Teungku Chik Pante Kulu yang baru kembali dari Mekkah, kepada Teungku Chik Di Tiro kemudan dihadiahi Hikayat Prang Sabi yang diciptakannya.
Pengaruh hikayat ini memang luar biasa dalam membangkitkan semangat jihat perang melawan Belanda di Aceh. Sejarawan Anthony Reid juga mengakui hal itu. Dalam The Contest for Nort Sumatra ia menulis:
“Kegiatan para ulama sekitar tahun 1880, telah menghasilkan sejumlah karya sastra baru yang berbentuk puisi kepahlawanan populer dalam lingkungan rakyat Aceh. Hikayat Prang Sabi adalah yang paling mahsyur dalam membangkitkan semangat perang suci…”
Mantan Gubernur Aceh, Muzakkir Walad malah menilai heoisme dalam hikayat Prang Sabi sama dengan Illias dan Odyssea karya pujangga Homerus di zaman Epic, era Yunany sekitar tahun 900 sampai 700 sebelum masehi.
Abdullah Arif dalam buku 10 Tahun Darussalam menjelaskan bahwa Hikayat Prang Sabi dikarang oleh Teungku Chik Pante Kulu dalam kapal antara Jeddah dan Penang ketika pulang dari Mekkah dan ketiba tiba di Aceh hikayat itu dihadiahkan kepada Teungku Chik Di Tiro. Hikayat ini berisikan empat bagian cerita yakni, kisah Ainal Mardiah, Kisah Pasukan Gajah, Kisah Sa’id Salim, dan kisah budak mati hidup kembali.
Begitulah peranan ulama dalam menggelorakan jihat berperang melawan Belanda sebagai akibat dari pernyataan perang yang diproklamirkan oleh Belanda terhadap Aceh pada 26 Maret 1873.

Post a Comment

0 Comments